Perbandingan Prinsip Akad Musyarakah : Perspektif Fiqh Islam dan Realitas Penerapan di Lembaga Perbankan
Akad musyrakah atau
perserikatan merupakan salah satu bagian terpenting dari muamalah atau ekonomi
Islam (Nabhani, 1996: 153). Transaksi perseroan tersebut mengharuskan adanya
Ijab dan Qabul (A. Mas’adi, 2002: 77). Sah tidaknya transaksi perseroan
tergantung kepada suatu yang ditransaksikan yaitu harus sesuatu yang bisa
dikelola tersebut sama-sama mengangkat mereka (Diebul, 1984: 206). Secara
sederhana akad ini bisa digambarkan sebagai satu proses transaksi dimana dua
orang (institusi) atau lebih menyatukan modal untuk satu usaha, dengan
prosentasi bagi hasil yang telah disepakati.
Namun,
penerapan akad musyarakah dalam lembaga perbankan masih sering menjadi bahan
perdebatan. Pasalnya, banyak penerapan yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum fiqh. Salah satu
isu yang perlu dibahas adalah resiko kerugian dalam akad musyarakah yang
dibebankan sepenuhnya kepada nasabah. Perbedaan antara prinsip-prinsip hukum
fiqh dengan penerapan di perbankan inilah, yang memerlukan klarifikasi agar
tidak terjadi kesalahpahamnan.
Menurut
hukum fiqh, resiko kerugian dalam akad musyarakah harus dibagi di antara para
mitra secara proporsional sesuai dengan saham masing-masing dalam modal. Hal
ini juga tertera dalam Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 bagian Objek Akad dalam poin (d) perihal kerugian telah
dipaparkan, yaitu kerugian harus dibagi diantara para mitra secara proporsional
menurut saham masing-masing dalam modal.
Namun
dalam sistem perbankan, resiko usaha merupakan tanggung jawab pihak nasabah
karena pihak bank dalam hal ini hanya bertindak sebagai sumber dana dan
monitoring serta konsultan dalam usaha. Jika dalam perjalanan terjadi
kegoyangan dalam usaha maka pihak bank akan mengambil tindakan apakah
dihentikan pengucuran modalnya atau justru ditambah modal guna menyehatkan
perusahaan, dengan cara memperbaharui kontrak, keputusan ini tergantung dari
pihak bank. Jika terjadi kerugian dalam menjalankan usaha merupakan tanggung
jawab nasabah.
Menurut pendapat saya, penggunaan akad musyarakah dalam lembaga perbankan harus selaras dengan prinsip-prinsip hukum fiqh Islam untuk memastikan keadilan, konsistensi, dan perlindungan nasabah. Adalah hal yang wajar bagi bank untuk melindungi nasabah dengan menanggung lebih banyak resiko, namun tetap harus sesuai prinsip hukum fiqh dan kesimbangan keadilan Dengan mengikuti pedoman yang telah ditetapkan, dapat diwujudkan sistem perbankan yang benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan mampu membawa manfaat bagi seluruh pihak yang terlibat. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman mendalam dan tindakan konkret untuk memastikan bahwa praktik perbankan mencerminkan ajaran Islam dengan tepat dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum fiqh.
Baca juga : Retorika dalam Ilmu Komunikasi

Komentar
Posting Komentar